‘Sedang’ Shaleh dan ‘Sedang’ Tidak Shaleh

Keshalehan adalah puncak dari proses yang tak berujung selama kita masih hidup. Dan proses tersebut baru akan berhenti setelah kita mati. Maka dari itu Allah selalu menerima taubat hambaNya -yang merupakan pintu gerbang keshalehan- sampai sejenak sebelum kematiannya (ghargharah).

Maka sepertinya kurang elegan jika kita buru-buru menilai orang lain secara hitam-putih apalagi memvonis bahwa orang lain tidak shaleh selama masih dalam proses tersebut (hidup). Sebaliknya, terlalu naif jika kita merasa bangga atas keberadaan diri kita yang -saat ini- sedang menjalani lakon sebagai orang yang taat beragama, terlebih jika kita “mempublikasikan” ketaatan kita.

Bukankah keberimanan (keshalehan) kita saat ini adalah anugerah Allah yang kapan saja bisa Dia cabut sehingga kita menjadi sebejat-bejatnya manusia?! Bukankah kita tak pernah tahu secara pasti apakah kita sendiri akan mati dalam keadaan husnul-khatimah atau tidak, padahal saat ajal menjelanglah “raport” kehidupan kita ditetapkan?!

Mmm… Sepertinya ada benarnya ungkapan seorang teman: “Tak ada orang shaleh dan orang tidak shaleh. Yang ada, orang yang ‘sedang’ shaleh dan orang yang ‘sedang’ tidak shaleh”.

Wallahu a’lam wa bihittawfiq

Digurui, Siapa Mau?

Kebanyakan –sepengetahuan saya- orang menganggap bahwa cara menularkan kebaikan secara oral (untuk tidak mengatakan “mengajar ilmu atau memberi nasehat”) yang baik dan efektif adalah dengan cara yang tidak terkesan ‘menggurui’. Dan sepertinya kebanyakan –mungkin termasuk anda- sepakat dengan anggapan itu, meski -mungkin- belum dapat menggambarkan dengan jelas bagaimana sebenarnya sikap menggurui itu. Tulisan singkat ini hanya sebagai penyeimbang anggapan yang telah terlanjur menjadi “ijma’ ” tersebut. Continue reading Digurui, Siapa Mau?